KEBUMEN, BeritaKami.com – Dukuh Songging terkenal sebagai Kampung Sate, sejak zaman sebelum Indonesia merdeka hingga saat ini. Disini sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai pedagang sate keliling dari kampung ke kampung.
Sate asal Desa Candiwulan Kecamatan Adimulyo Kebumen ini memiliki ciri khas tersendiri, seperti halnya sate Ambal yang juga cukup dikenal oleh masyarakat luas. Sate khas Dukuh Songging ini memiliki tekstur, rasa, dan bumbu yang berbeda dari sate sate lainnya.
Menariknya disini menggunakan kupat sumpil, atau ketupat yang terbuat dari daun bambu sebagai pembungkusnya. Sate tersebut dibuat menggunakan daging ayam ataupun kambing yang disatukan dengan gula Jawa cair, sehingga memiliki rasa manis ketika dinikmati.
Tentunya, dengan kucuran bumbu kacang yang menggoda akan menambah cita rasa tersendiri. Bedanya, bumbu kacang yang disajikan bersama sate ini lebih kental dan memilih rasa berbeda dari bumbu sate lainnya, dan tidak pernah berubah sejak dulu.
Rajino salah seorang pedagang sate mengungkapkan dirinya telah berjualan sate sejak beberapa tahun lalu, dan mendapatkan ilmu membuat sate yang diturunkan dari orang tuanya. Menurutnya, di dukuh Songging ada sekitar 46 kepala keluarga yang berprofesi sebagai pedagang sate.
Dalam keluarganya ada 2 orang yang saat ini berdagang sate, yakni ia dan kakak perempuannya. Ia juga mengaku merupakan generasi ke 3, yang mempertahankan profesi sebagai pedagang sate.
Untuk berjualan sendiri, dirinya selalu mangkal di Pasar Gropak Kecamatan Puring, dan telah memiliki pelanggan tersendiri. Bahkan setiap harinya, dalam berjualan bisa menghabiskan 7 Kg daging ayam.
” Kalo saya berjualan di pasar Gropak Puring setiap harinya berangkat pagi, sampai habis rata rata dalam sehari sampai 7 kg daging ayam. Kalo harga rata rata Rp 15 sampai Rp 20 ribu seporsinya, itu sudah lengkap sama ketupat,” ujarnya. (7/7)
Sementara itu, Daeri orang tua Rajino mengatakan awal mula berdagang sate sejak tahun 1985, dan waktu itu masih berjualan dengan cara dipikul di seputaran Kecamatan Gombong. Sedangkan untuk bumbu pembuatan sate tersebut didapatkan dari kakeknya, yang juga berdagang sate saat itu.
Ia menceritakan, dulu sate terbuat dari daging Itik ataupun daging mentok, namun saat ini sudah menggunakan daging ayam negeri. Saat ini ia mengaku sudah pensiun, dan membantu anaknya membuat sate dirumah.
Namun terkadang juga ia masih berjualan di dekat desanya, hal ini untuk menyalurkan hobi yang sejak dulu digelutinya. Menurutnya, sejak dulu pelanggan yang membeli satenya tidak pernah dipathok harus beli satu prosi, akan tetapi semampu mereka, tetap dilayani.
” Dulu diajari membuat sate dari kakek saya, turun temurun sampai anak saya, pertama dulu tahun 1985 sudah berjualan, kadang saya berjualan di pasar dekat sini, dulu jualan pake pikulan, terus ada sepeda pake sepeda dan sekarang anak saya udah menggunakan sepeda motor,” ucapnya.